A. IMAN KEPADA QADA DAN QADAR ALLAH SWT
IMAN KEPADA QADA DAN QADAR ALLAH SWTSetidaknya ada dua kelompok ekstrim dalam memandang Takdir Allah swt, yang pertama mengatakan, bahwa manusia adalah “robot hidup” yang tidak memiliki kemauan, usaha dan lakunya tergantung sec ara total dari kehendak Tuhan. Kelompok lain berpendapat, bahwa manusia adalah makhluk bebas dengan kemampuan akal pikiran dan potensi irodah ( kehendak ) dirinya ia dapat melakukan apa saja.
Menjawab dua sikap ekstrim ini Allah menegaskan dalam al-Qur’an :
( لمن شاء منكم أن يستقيم وما تشاءون إلا أن يشاء الله رب العالمين )
Terjemahan: Bagi siapa diantara kamu yang berkehendak untuk istiqomah, tetapi kalian tidak berkehendak melainkan atas masyi’ah (kehendak) Allah Tuhan alam semesta (Q.S. at-Takwir: 28-29 ).
Sehubungan dengan tafsir ayat tersebut Ibnu Katsir mengatakan: Siapa yang menginginkan hidayat, maka hendaknya ia mengambil al-Qur’an (sebagai hidayat), hal itu merupakan kunci selamat dan bahagia. Siapa saja bisa berkehendak hidayat atau berkehendak kesesatan, tetapi kehendak itu tidak mutlak di tangan kalian, melainkan mengikuti kehendak Allah swt ( tafsir Ibnu Katsir 4/481 ).
Sayyid Quthub berkata dalam “Fi Zhilal al-Qur’an, bahwa setelah diberikan potensi berfikir dan penjelasan dari Allah lewat para Rasul, manusia dapat memilih untuk mengambil jalan lurus atau menyimpang darinya. Pilihan tersebut akan diminta pertanggungjawaban kelak. Hendaknya mereka juga memahami, bahwa kehendak mereka itu tidak terlepas dari kehendak Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana (Fi Zhilal al-Qur’an 6/3843 ).
Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.
Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(al-An’aam: 59)
“Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah …karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).’ Kemudian, beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (al-Lail: 5-10).’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari, Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)
A. Definisi.
Secara etimologi, Qadha memiliki banyak pengertian sebagaimana berikut.
-Perintah. kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah di bawah ini.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (al-Israa`:23)
-Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat berikut ini.
“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (al-Hijr: 66).
Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu al-Atsir 4/78)
Adapun Qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini.
“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushshilat: 10)
Dari sudut terminologi, Qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).
Dalil-dalil Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.
-Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR Muslim)
-“Sekiranya Allah SWT menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadiid: 22-23)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
(al-Qamar: 49)
“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfaal: 42)
Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5-10)
B. Hakikat Takdir Allah SWT.
Agar takdir dapt dipahami dengan benar dan proporsional, maka hendaknya kita memahami hakikat Takdir itu sendiri.
a. Takdir Allah hendaknya didasari dengan pandangan “Husnu Azh-Zhon” (berbaik sangka) kepada Allah swt. Maksudnya, bahwa iman kepada takdir Allah didasari dengan keyakinan terhadap ke-Mahabijaksanaan Allah swt dan ke-MahatahuanNya atas segala yang menimpa hambaNya. Seringkali suatu kejadian nampaknya buruk dalam pandangan manusia, tetapi dalam pandangan Allah swt suatu kebaikan, sebab segala perbuatan Allah adalah kebaikan mutlak ( Lihat: Abdur-Rahmnan Habannakah, Pokok-pokok Akidah Islam, 674, th. 1998, GIP ).
b. Keimanan kepada Takdir Allah bukan berarti meniadakan tanggung jawab mukmin atas perbuatannya dan pilihannya dalam kehidupan. Sebagaimana firman Allah swt (Q.S. al-Anbiya: 23) yang artinya: Allah tidak ditanya atas perbuatanNya, tetapi manusia akan ditanya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Segala sesuatu yang terjadi sebagai ketentuan qadho dan qodar mesti diterima dengan ridha dan pasrah, dan diyakininya bahwa hal itu adalah ke-Mahabijaksanaan Allah swt. Sedangkan dalam ruang lingkup tanggung jawab manusia, ia berusaha menguasai sebab musabab yang merupakan sunnatullah pada alam ciptaanNya (Lihat : Abdur-Rahman H, hal: 678 ).
c. Iman kepada Takdir Allah merupakan sikap Tawakkal dan I’timad ( bersandar ) kepada allah swt. Tawakkal berarti berupaya melakukan sesuatu sesuai ketentuan yang berlaku pada sunnatullah, dengan menggunakan bekal-bekal dan potensi-potensi yang diberikan Allah untuk manusia, kemudian berdo’a, memohon kemudahan kepadaNya. Hasil usaha dan do’a tersebut diserahkan kepada Allah yang memiliki masyi’ah ilahiah.
C. Hikmah Iman Kepada Takdir
1. Ibtila ( Ujian). Diantara hikmah Iman kepada Takdir Allah adalah ujian kepada manusia, bahwa kejadian-kejadian yang menimpa manusia, baik atau buruk, semuanya merupakan ujian Allah. FirmanNya :
èÏNä.qè=ö7tRur ÎhŽ¤³9$$Î/ ÎŽösƒø:$#ur ZpuZ÷FÏù ( $uZøŠs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÌÎÈ
( ……..Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan …..) Q.S. Al-Anbiya: 35.
2. Sarana Pendidikan dan Pengajaran. Allah swt dalam mendidik dan mengajari hamba-hambaNya kadang-kadang menimpakan musibah dan kadang-kadang memberikan kesenangan dan kenikmatan hidup. Suatu saat Allah memberikan hadiah penghargaan, pada saat lain memberikan teguran-teguran berupa sangsi-sangsi, baik bersifat fisik maupun moril.
3. Pembalasan yang disegerakan. Allah swt kadangkala menyegerakan balasan orang yang melakukan kemaksiatan, sebagaimana menyegerakan ganjaran bagi yang berbuat baik. Semua itu dilakukan dalam rangka dapat dijadikan pelajaran bagi orang lain yang menyaksikan balasan atau ganjaran tersebut.
D. Pengaruh Iman kepada Takdir Allah SWT.
Iman kepada Takdir Allah yang benar dan tepat tidak melahirkan sifat dan sikap yang kontra produktif apalagi anarkis dan destruktif. Sebaliknya, bahwa keimanan tersebut memberikan pencerahan hidup dan kehidupan.
Diantara buah dan pengaruh positif keimanan seseorang kepada Takdir Allah sebagai berikut :
1. Ketenangan Jiwa . Setiap mukmin akan senantiasa merasa tenang dan tentram, karena keimanan kepada ketentuan Allah swt. Sebab ia berkeyakinan, bahwa apapun yang terjadi setelah upaya-upaya dilakukan, tidak terlepas dari kebijaksanaanNya. Ia pun berkeyakinan bahwa Allah tidak mungkin menyia-nyiakan hambaNya yang patuh kepada ketentuan-ketentuanNya.
2. Al-Jiddiyah ( Serius dan Semangat Bekerja ). Setiap mukmin merasa bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Pilihannya berdasarkan karunia Allah; Dia memberikan akal pikiran, potensi baik dan kemampuan dalam rangka bekerja keras dan berupaya meraih ketentraman dan kenyaman hidup. Persepsi ini memberikan pemahaman lain, bahwa kesalahan atau kekalahan tidak boleh semata-mata diarahkan kepada orang lain, atau mengkambinghitamkan Takdir. Sebagaimana penjelasan Allah swt dalam peristiwa Perang Uhud ( Lihat Q.S. Ali Imron: 165 ). Ayat ini memberikan landasan analisis kepada manusia muslim dalam seluruh rangkaian struktur problematika yang dihadapinya. Kefaktoran manusia sebagai sumber musibah adalah sunnatullah, seperti penegasan Allah dalam ayat lain Q.S. 3: 137 ( Sesungguhnya telah berlalu sebelummu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan ( Rasul-Rasul )
5. Sikap Tawakkal dan Berserah Diri Kepada Allah. Seseorang yang beriman kepada Takdir Allah berkeyakinan, bahwa kehendaknya dalam berupaya tidak bisa dipisahkan dari kehendak Allah, artinya Allah swt tidak akan menyia-nyiakan hasil usahanya dalam bekerja. Karenanya, ia senantiasa berharap rahmat dari Allah dengan lantunan doa’-do’a menyertai usaha-usaha yang dilakukannya.
E. Rukun-Rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama, Ilmu Allah SWT. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 22)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”(al-An’aam: 59)
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)
Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah SWT menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (al-An’aam: 38)
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Faathir: 44)
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwiir: 29)
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (al-An’aam: 39)
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yaasiin: 82)
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qodar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”
(az-Zumar: 62)
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”(al-Furqaan: 2)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ (ash-Shaaffat: 96)
“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.”
(HR Hakim)
Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-Macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah SWT memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(al-Hadiid: 22)
“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR Muslim)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia... .” (HR Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
(ad-Dukhaan: 4-5)
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (ar-Rahmaan: 29)
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
BERDALIH DENGAN QADAR DALAM KEMAKSIATAN DAN MUSIBAH.
Semua yang ditakdirkan oleh Allah SWT selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah SWT, melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.
Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah SWT.
Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah SWT. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (al-An’am: 148-149)
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” (an-Nahl: 35)
Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.
“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR Muslim)
Buah Iman Kepada Takdir
Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah SWT secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.
DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.
Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (al-Ma’arij: 19-22)
Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al-A’raaf: 99)
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.
B. IMAN KEPADA HARI AKHIR
IMAN KEPADA HARI AKHIRA. Pengertian Hari Kiamat
Hari akhir disebut juga dengan hari kiamat, artinya hari kebangkitan. Pada hari kebangkitan ini semua manusia yang telah meninggal dibangkitkan kembali untuk mempertanggung-jawabkan semua amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Pada saat terjadinya hari akhir, semua makhluk yang ada di dunia ini akan musnah, langit hancur, gunung-gunung meletus, lautan meluap, dan bumi memuntahkan segala isinya.
Kiamat dibagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Kiamat sughra adalah kiamat kecil, misalnya terjadinya kematian, terjadinya musibah seperti banjir, gempa bumi, gelombang tsunami, dsb.
— Firman Allah SWT :
Artinya :
“Segala sesuatu itu pasti rusak, kecuali Zat-nya (Allah).”
(QS. Al-Qashas/28 : 88)
— Dalam firman Allah SWT yang lain disebutkan :
Artinya :
“Tiap-tiap yang bernyawa (pasti) akan mengalami mati.”
(QS. Ali Imran : 185)
2. Kiamat kubra adalah kiamat besar, yaitu saat rusaknya jagad raya dengan segala isinya.
— Firman Allah SWT :
Artinya :
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandungnya dan manusia bertanya : “Mengapa bumi (jadi begini)?” (QS. Al-Zalzalah : 1-3) Firman Allah SWT :
Artinya :
“Apabila bumi digoncangkan dahsyat-dahsyatnya dan gunung-gunung dihancurkan sehancur-hancurnya maka jadilah ia debu yang beterbangan.” (QS. Al-Waqi’ah : 4-6)
Disamping istilah hari akhir ( Al Yaum Al Akhir ), Al Qur’an juga menggunkan istilah atau nama-nama lain, yang masing-masing nama menunjukkan peristiwa, keadaan atau suasana yang akan dialami oleh umat manusia dalam proses menuju kehidupan yang abadi tersebut. Nama-nama itu adalah :
1. Yaumul Qiyamah / Hari Kiamat (Az Zumar 39:60).
2. Yaumul Ba’ats / Hari Kebangkitan(Ar Rum 30:56).
3. Yaumul Hisab / Hari Perhitungan (Al Mukmin 40:67).
4. Yaumul Din / Hari Pembalasan (Al Fatihah 1:3).
5. Yaumul Fath / Hari Kemenangan (As Sajadah 32:29).
6. Yaumul Talaq / Hari Pertemuan(Al Mukmin 40:15-16).
7. Yaumul Jami’ / Hari Berhimpun (At Taghabun 64:9).
8. Yaumul Taghabun / Hari ditampakkannya kesalahan-kesalahan ( At Taghabun 64:9 ).
9. Yaumul Khulud / Hari Kekekalan (Qaf 50:34).
10. Yaumul Khuruj / Hari Keluar (Qaf 50:42).
11. Yaumul Hasrah / Hari Penyesalan (Maryam 19:39).
12. Yaumul Tanad / Hari Panggil Memanggil (Al Mukmin 40:32).
13. Yaumul Fash / Hari Keputusan (An Naba’ 78:17).
14. As Sa’ah / Waktu (Al Qamar 34:1).
15. Al Akhirah / Akhirat ( Al A’la 87:16-17).
16. Al Azifah / Peristiwa Dekat (An Najm 53:57).
17. At Tammah / Mala Petaka Besar (An Nazi’at 79:34).
18. As Sakhah / Tiupan sangkakala yang kedua (Abasa 80:33).
19. Al Ghassiyah / Kejadian yang Menyelubung (Al Ghassiyah 88:1).
20. Al Waqi’ah / Peristiwa Dahsyat (Al waqi’ah 56:1).
21. Dan lain-lain.
B. Tanda Terjadinya Kiamat
1. Terbitnya matahari dari arah barat dan terbenam dari arah timur. Hal ini terjadi karena perubahan besar dalam susunan alam semesta.
2. Keluarnya suatu binatang yang sangat aneh. Binatang ini dapat bercakap-cakap kepada semua orang dan menunjukkan kepada manusia bahwa kiamat sudah sangat dekat.
3. Datangnya Al-Mahdi. Beliau termasuk keturunan dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, beliau serupa benar akhlak dan budi pekertinya dengan Rasulullah SAW.
4. Munculnya Dajal. Dajal adalah seorang yang muncul sebagai tanda semakin dekat datangnya kiamat. Dajal bermata buta sebelah dan mengaku sebagai “Tuhan”.
5. Hilang dan lenyapnya Al-Qur’an dan mushaf, hafalan dalam hati. Bahkan lenyap pulalah yang ada di dalam hati seseorang.
6. Berkumpulnya manusia, seperti selamatan kelahiran, khitanan, perkawinan, ulang tahun, dll. Akan tetapi tidak pernah sedikit pun dijalankan perintah-perintah-Nya serta dijauhi larangan-Nya.
7. Turunnya Nabi Isa as. Beliau akan turun ke bumi ini di tengah-tengah merajalela pengaruh Dajal.
C. Peristiwa Sesudah Hari Akhir
1. Alam Barzah
Alam barzah juga disebut alam kubur. Di alam barzah manusia sudah dapat merasakan balasan amal baik dan buruk. Firman Allah SWT :
Artinya :
“Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzah (dinding pemisah) sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mukmin : 100)
2. Kiamat
Kiamat pasti terjadi. Tetapi tidak ada seorangpun yang tahu, termasuk nabi dan atau rasul kapan hal itu akan terjadi. Seperti dalam Firman Allah sebagai berikut :
Artinya :
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui" ( Al A’raf 7:187)
3. Yaumul Ba’ats
Yaumul Ba’as artinya hari kebangkitan, yaitu hari bangkitnya kembali seluruh umat manusia sejak nabi Adam a.s. hingga manusia terakhir dari alam kubur setelah malaikat Israfil meniup sangkakala yang kedua.
— Firman Allah SWT :
Artinya :
“Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, agar kepada mereka itu dapat diperlihatkan amalan-amalannya yang sudah-sudah.” (QS. Az-Zalzalah : 6)
4. Yaumul Mahsyar
Yaumul Mahsyar adalah hari berkumpulnya seluruh umat manusia. Setelah manusia dibangkitkan dari alam kubur, manusia digiring dan dikumpulkan di padang mahsyar.
— Firman Allah SWT :
........
Artinya :
“........ Dan kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak kami tinggalkan seorang pun dari mereka.” (QS. Al-Kahfi : 47)
4. Yaumul Mizan
Yaumul Mizan yaitu hari penimbangan amal baik dan amal buruk yang dilakukan manusia selama hidupnya.
— Firman Allah SWT :
Artinya :
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya : 47)
5. Yaumul Hisab
Yaumul hisab artinya hari perhitungan amal baik dan buruk yang dilakukan selama hidupnya.
— Firman Allah SWT :
Artinya :
“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS. Al-Mukmin : 17)
6. Sirat
Sirat adalah jalan atau jembatan penentu dari setiap manusia setelah diperhitungkan dan ditimbang perbuatan baik-buruknya. Sirat tersebut menentukan manusia masuk surga atau neraka.
7. Surga dan Neraka
Surga dan neraka adalah tempat terakhir yang diciptakan oleh Allah SWT untuk memberikan balasan atas perbuatan manusia semasa di dunia.
D. Fungsi Iman Kepada Hari akhir
1. Menambah iman serta ketaqwaan kepada Allah SWT
2. Lebih taat kepada Allah dan Rasulullah SAW dengan menghindarkan diri dari perbuatan maksiat
3. Senantiasa hidup dengan hati-hati, waspada, dan selalu meminta ampunan kepada Allah SWT
4. Memberi motivasi untuk beramal dan beribadah karena segala perbuatan baik akan mendapat balasan di akhirat
5. Selalu menghiasi diri dengan berzikir kepada Allah SWT sehingga jiwa menjadi tenang
C. MUNAKAHAT
Pengertian pernikahanAkad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing.
Ada empat pengertian yang disebut dalam al-Qur’an berkaitan dengan pernikahan:
UQDATUN NIKAHI = Bentuk perjanjian yang kuat dalam ikatan pernikahan (surat ke 2 : 237)
ZAOJUN = Pasangan (surat ke 2 : 230)
MITSAAQON GHOLIIZHON = Ikatan yang kokoh (surat ke 4 : 21)
MAWADDTAN WAROHMATAN = Bentuk kasih sayang yang dirahmati (surat ke 30: 21)
Pernikahan merupakan jalan terbentuknya institusi keluarga. Melalui keluarga terwujud pilar kokoh kehidupan. Dalam menempuh kehidupan, seseorang memerlukan pendamping sebagai tempat mencurahkan suka maupun duka. Hidup berpasangan (nikah) adalah kebijaksanaan Allah SWT terhadap seluruh makhluknya.
Pernikahan (hiduo berumah tangga) merupakan fitrah (pribadi masyarakat). Itulah sebabnya kenapa Islam mengecam keras hidup pelacur, homo dan lesbian, karena bertentangan dengan fitrah manusia. Sejalan dengan itu pernikahan menjadi kendali untuk tidak menuruti hawa nafsu bagi manusia.
Fungsi Pernikahan
1. Sebagai salah satu pilar kokohnya sebuah masyarakat, pernikahan dalam Islam tak hanya masalah individu, masyarakatpun memiliki kewajiban untuk memperhatikan masalah ini. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nur [24]: 32 yang artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk nikah)..”
2. Sebagai penangkal dan penerus kelangsungan hidup manusia, kesinambungan hidup manusia dan kebudayaan merupakan prasyarat utrama terlaksananya tugas khalifah di muka bumi.
3. Merupakan perlindungan bagi terjadinya akhlak dan tata susila. Kecendrungan melakukan hubungan lawan jenis merupakan sesuatu yang fitrah dalam diri manusia sedangkan bingkai yang benar dari dorongan ini adalah dengan cara menikah.
4. Merupakan jalan bagi berlangsungnya proses pemebentukan dan penanaman nilai, pembentukan kepribadian, pembagian tugas yang jelas antara suami-istri dan anak, akan membuat proses penanaman nilai ini berlangsung mulus.
5. Kata sakinah, mawaddah warahmah adalah seuntai kata yang didamba setiap pasangan. Terwujudnya ketentraman, cinta kasih sayang hanya dapat dicari di dalam atau setelah nikah, karena itu Islam tidak mengenal onsep “pacaran”. Dengan demikian barulah Allah SWT memberikan mawaddah dan rahmatnya sebagai hak pererogratif-Allah.
Untuk mendapat rumahtangga sakinah, mawaddah warahmah renungkan dua hal di bawah ini:
1. Allah SWT telah menciptakan manusia berikut pasangannya, oleh karena itu manusia tidak perlu gelisah dalam masalah jodoh, kalau ingin mendapatkan pasangan yang baik, maka harus mengkondisikan diri menjadi pribadi yang baik, pasangan kita adalah cermin diri kita sendiri.
2. Ketentraman batin dan kasih sayang hakiki yang dirasakan dalam perkawinan merupakan kepuasan psykologis yang tidak mungkin di dapat di luar perkawinan, dan untuk mempersatukan hati manusia, ada suyaratnya yaitu hati yang sudah tersibghah dengan nilai-nilai taqwa.
Maka hendaklah kedua pasangan menjalankan fungsi tersebut dengan sebaik-baiknya pasti Allah akan mengabulkannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pernikahan
1. Adanya kesiapan fisik dan mental. Usia ideal menurut kesehatan 20 – 25 tahun bagi wanita dan usia 25 tahun bagi pria.
2. Kematangan mental dan kepribadian pendidikan, perbedaan umur minimal 5 tahun antara laki-laki dan wanita.
Rasulullah bersabda dalam sebuah haditsnya: “Hai para pemuda barangsiapa yang sudah mampu nikah, endaklah ia nikah karena sesungguhnya pernikahan itu akan mampu mengendalikan mata dan menjaga syahwat, namun bila ada yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena dengan puasa dapat dijadikan benteng terhadap godaan nafsu.” (HR. Jama’ah).
Faktor-faktor penting dalam memilih pasangan
1. Satu agama.
2. Hindari pasangan yang buruk kepribadiannya.
3. Tetap memelihara kesucian diri dalam pergaulan, karena pernikahan adalah ikatan suci, maka dalam proses memilih pasangan pun tetap menempuh jalan kesucian.
4. Memohon pertimbangan kepada Allah melalui salat istikharah.
HUKUM PERNIKAHAN
1. Mubah/jaiz; dibolehkan menikah asal terpenuhi syaratnya.
2. Sunnah; siapa saja yang mampu memenuhi syarat nikah, namun tidak khawatir berbuat zina, maka ia disunnahkan menikah.
3. Wajib; hukum ini dikenakan bagi yang sudah memenuhi syarat sehingga dikhawatirkan terjadi perzinaan maka ia wajib menikah.
4 Makruh; mempunyai keinginan menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah (sandang, pangan dan papan).
5. Haram; hukum ini dikenakan bagi siapa saja yang menikah namun mempunyai maksud yang buruk/jahat, baik untuk pasangannya maupun diri sendiri.
TUJUAN MENIKAH
1. Tercapainya ketentraman hati dan ketenangan pikiran karena kehidupan yang diliputi cinta, mawaddah warahmah lahir dan batin antara suami-istri.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. 30: 21)
2. Untuk memperoleh keturunan yang sah
Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. [42]: 50)
3. Sebagai alat kendali bagi manusia agar tidak terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS. 17: 32)
4. Untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah)
“Hai para pemuda barangsiapa yang sudah mampu nikah, hendaklah ia nikah karena sesungguhnya pernikahan itu akan mampu mengendalikan mata dan menjaga syahwat, namun bila ada yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena dengan puasa dapat dijadikan benteng terhadap godaan nafsu.” (HR. Jama’ah).
5. Memenuhi kebutuhan seksual yang sah dan suci.
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS. 2: 223)
RUKUN NIKAH
1. Aqad atau sighat atau Ijab – Qabul
Ijab; perkataan wali perempuan seperti “Aku nikahkan engkau dengan Aisyah binti Abdul Hakim dengan maskawin seperangkat alat salat tunai.”
Qabul; perkataan dari pihak mempelai laki-laki seperti: “Saya tarima nikahnya Aisyah binti Abdul Hakim dengan maskawin seperangkat alat salat tunai.”
2. Adanya calon suami
3. Adanya calon istri
4. Wali mempelai perempuan, yaitu seorang yang mengizinkan dan menikahkan mempelai perempuan.
Ada dua macam wali: Nasab dan Hakim
Wali Nasab, wali berdasarkan nasab (pertalian darah):
1. Bapak kandung
2. Kakek dari bapak
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki sebapak
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari saudara sebapak
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman)
8. Anak laki-laki paman dari pihak bapak
Wali Hakim, yaitu wali yang berdasarkan wewenang. Karena tidak adanya wali nasab.
5. Dua orang saksi
Wanita yang tidak boleh dinikahi
1. Mahram karena keturunan:
– Ibu dan seterusnya ke atas
– Anak perempuan dan seterusnya ke bawah
– Bibi, baik dari pihak bapak atau ibu
– Anak perempuan dari saudara perempuan atau saudara laki-laki
2. Mahram karena hubungan pernikahan:
– Ibu dari istri (mertua)
– Anak tiri (bila ibunya sudah dicampuri)
– Istri bapak (ibu tiri)
– Istri anak (menantu)
3. Mahram karena susuan:
– Ibu yang menyusui
– Saudara perempuan sesusuan
4. Mahram karena dengan maksud dikumpulkan (dimadu):
– Saudara perempuan dari istri
– Bibi perempuan dari istri
– Keponakan perempuan dari istri
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI
Kewajiban Suami
– Menjadi pemimpin, memelihara dan membimbing keluarga lahir dan batin serta menjaga dan bertanggungjawab atas kesejahteraan keluarganya.
– Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal
– Bergaul dengan istri secara ma’ruf dan memperlakukan keluarganya dengan cara terbaik.
– Masing-masing anggota keluarganya, terutama suami dan istri bertanggung jawab sesuai dengan fungsi dan peranannya.
– Memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepada istri sepanjang sesuai norma Islam, membantu tugas-tugas istri serta tidak mempersulit kegiatan istri.
Kewajiban istri
– Taat penuh kepada perintah suami sesuai dengan ajaran Islam.
– Selalu menjaga kehormatan diri dan rumah tangga.
– Bersyukur atas nafkah yang diterima dan menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
– Membantu suami dan mengatur rumah tangga sebaik mungkin.
Kewajiban suami-istri
– Memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-bainya
– Berbuat baik terhadap mertua, ipar dan kerabat lainnya baik dari suami atau istri
– Setia dalam hubungan rumah tangga dan memelihara keutuhannya
– Saling bantu antara keduanya
THALAQ (Perceraian)
Talaq atau perceraian adalah memutuskan tali ikatan pernikahan. Hukum asalnya adalah Makruh.
HUKUM TALAQ
Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami-istri yang tidak bisa didamaikan dan hakim memandang perlu bercerai
Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi menunaikan kewajibannya atau perempuan tidak bisa menjaga klehormatan dirinya.
Haram, apabila istri dalam keadaan; Haid atau hamil dan keadaan suci yang dicampuri pada waktu itu.
BENTUKNYA
1. Talaq adalah perceraian yang dijatuhkan suami atas kehendaknya sendiri. Maka si suami berkewajiban memberikan sesuatu yang berharga (Mut’ah)
2. Talaq Khulu’ (Talak Tebus)
Talaq ini dijatuhkan suami, karena menyetujui dan memenuhi permintaan cerai istrinya dengan membayar tebusan dari pihak istri atau pengembalian mahar.
3. Talaq Fasakh
Talaq yang dijatuhkan oleh hakim atas pengaduan istri. Talaq fasakh dapat dilakukan karena:
– Adanya aib atau cacat pada salah satu pihak
– Suami tidak mampu memberikan nafkah
– Adanya penipuan dari pihak suami
– Diketahui adanya hubungan mahram antara suami-istri
Jumlah/Batas Talaq
Suami-istri yang telah bercerai masih mungkin untuk berkumpul kembali namun untuk menghindari tindakan sewenang-wenang, maka jumlah talaq yang membolehkan suami kembali kepada istrinya dibatasi hanya sampai dua kali.
Setelah talaq jatuh tiga kali, suami-istri tidak boleh lagi kembali kecuali istri telah kawin lagi dengan orang lain, atas dasar suka sama suka sesudah bergaul dan cerai lagi.
Bila terjadi talaq kesatu dan kedua, konsekwensinya adalah suami dapat berkumpul kembali, disebut Talak Raj’i. Sedang bila terjadi talaq ketiga dinamakan Talaq bain, dengan konsekwensi suami sudah tidak dapat berkumpul kembali kecuali dengan syarat-syarat di atas.
Cara menjatuhkan talaq
– Dengan kata-kata yang jelas (sharih), misalnya suami berkata kepada istrinya, “Engkau saya talaq, engkau saya ceraikan.” [Diikuti dalam hatinya ingin menceraikan istrinya].
– Dengan kata-kata samar atau sindiran (kinayah), misalnya suami berkata: “Pergi engkau dari sini.” Atau “Pulang ke rumah orang tuamu.” [Diikuti dalam hatinya ingin menceraikan istrinya].
Peraturan Khusus:
LI’AN, yaitu suami dan istri saling melaknat. Suami menuduh istri berzina tapi tidak dapat membuktikannya dengan 4 saksi, maka dia harus bersumpah 4 x sumpah dengan mengatakan: “Kalau saya dusta, maka laknat Allah untuk diri saya.” Kemudian istrinya menolak dengan 4x sumpah dengan ucapan seperti di atas. Akibatnya suami-istri tersebut menjadi cerai.
ZIHAR, yaitu mengharamkan istri dengan menyamakannya seperti ibu sendiri (seperti mengatakan: “Kamu seperti punggung ibuku”), maka untuk menghalalkan kembali suami wajib membayar kifarat.
ILA, seorang suami yang marah sampai mengharamkan istrinya bergaul dengannya atau bersumpah hendak menjauhkan dirinya dari istrinya untuk dapat menggauli kembali istrinya, wajib membayar kifarat sumpahnya.
IHDAD, berkabungnya seorang istri karena suaminya wafat, yaitu tidak memakai wangi-wangian dan lain-lain (tidak mempercantik diri).
TA’LIK TALAQ, seorang suami yang melanggar janjinya ketika diucapkan saat aqad nikah, seperti tidak memberi nafkah istri 6 bulan berturut-turut, atau menyakiti badan istri dan istri tidak ridho kemudian mengadukan ke Pengadilan Agama maka jatuhlah talaq satu.
NUSYUZ, istri durhaka karena melakukan maksiat.
Ada tiga langkah yang harus dilakukan suami jika istrinya durhaka: pertama, memberi nasihat, kedua pisah ranjang dan ketiga memukul bagian yang tidak membahayakan jika tidak berubah juga melalui tiga langkah tadi lakukan musyawarah yang diwakili dari kedua belah pihak keputusan dari musyawarah itu hanya dua teruskan pernikahan atau talaq.
HIKMAH TALAQ
Setiap aturan yang diturunkan oleh Allah SWT yang biasa disebut dengan istilah Syari’at Islam, tidak bertujuan untuk membebani atau memadharatkan (merugikan) umat-Nya. Begitu juga dengan disyari’atkannya talaq, diantara hikmahnya adalah:
– Menghindari kemudaratan dan penderitaan
– Melestarikan tali silaturahim
– Memberi kedamaian lahir dan batin
– Memungkinkan untuk islah (berdamai)
– Berpisah dengan baik-baik
IDDAH
Iddah adalah masa menanti bagi kaum perempuan yang diceraikan suaminya (baik cerai hidup atau cerai mati). Tujuan ditetapkan iddah, salah satunya adalah kandungannya, hamil atau tidak.
Macam-macam Iddah
Wanita yang ditinggal mati suaminya, idahnya ada dua macam:
– Apabila sedang hamil, iddahnya sampai anak lahir
– Apabila tidak hamil, iddahnya 4 bulan 10 hari
Perempuan yang dicerai suaminya, iddahnya:
– Apabila sedang hamil, iddahnya sampai saat lahir
– Apabila tidak hamil, iddahnya 3 kali suci (quru’)
Apabila tidak haid, iddahnya 3 (tiga) bulan. Wanita yang tidak haid; karena tidak pernah haid selama hidupnya atau sudah tidak pernah haid lagi (menopause)
Kewajiban suami dalam masa Iddah
– Memberikan makanan, pakaian dan tempat bagi istri yang ditalak raj’i
– Memberi tempat kediaman bagi sang istri yang di talak tiga dan talak tebus apabila tidak mengandung
– Memberikan makanan, pakaian dan tempat bagi istri yang di talak tiga dan talak tebus apabila mengandung
RUJU’
Ruju’ adalah: kembalinya suami kepada istri yang telah ditalaq, yaitu talaq satu atau talaq dua.
Hukum Ruju’ (asal hukumnya adalah MUBAH), hukum yang lain sesuai dengan alasannya bisa juga:
Sunnah, apabila maksud ruju’ untuk memperbaiki hubungan antara keduanya
Makruh, apabila perceraian lebih bermanfaat bagi kehidupan mereka
Haram, apabila menyebabkan satu pasangan, baik istri maupun suami teraniaya.
Rukun Ruju’
– ISTRI disyaratkan: sudah pernah bercampur suami-istri, jenis talaq-nya Raj’i, masih dalam iddah.
– SUAMI disyaratkan: baligh, berakal, dan dengan kemauan sendiri.
– SIGHAT (ucapan): terang-terangan (Sharih), sindiran (Kinayah).
HIKMAH RUJU’
– Merajut kembali barang yang pecah
– Menemukan cinta kasih yang baru
– Menyelamatkan aset keluarga
HIKMAH PERNIKAHAN
1. Menentramkan hati, menenangkan pikiran, melegakan perasaan.
2. Menyalurkan hajat fitrah biologis yang sah dan mendapatkan keturunan guna melanjutkan kehjidupan manusia yang berkualitas alias tidak asal.
3. Membina silaturahim keluarga sejahtera, bertanggung jawab sesuai dengan fungsi ibu dan bapak dalam rumah tangga yang sakinah.
4. Menjaga diri dari penyakit-penyakit kelamin yang merusak fisik, mental, serta terhindar dari krisis moral dalam masyarakat.
5. Meningkatkan tanggung jawab.
PERNIKAHAN MENURUT UUD NO 1 TAHUN 1974
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 bab, dan terbagi dalam 67 pasal. Di antaranya:
1. Pengertian perkawinan
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahadia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME.”
2. Pencatatan perkawinan
Tercantum pada pasal 2 ayat (2): “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Tujuannya:
– Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
– Pencatatan perkawinan harus dilakukan oleh pegawai pencatat nikah.
– Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah.
– Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
3. Sahnya perkawinan
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”
Menurut hukum Islam bahwa laki-laki muslim hanya boleh menikahi wanita muslimah atau ahli kitab. Sedang wanita muslimah hanya boleh dinikahi oleh laki-laki muslim saja.
Pernikahan antara laki-laki Muslim dan wanita Muslimah adalah sah, dan pencatatan nikahnya di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan pencatatan nikah antara Muslim dengan non Muslim atau antar agama selain Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil, bukan di KUA.
4. Tujuan perkawinan
Menurut UUD Nomor 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya demi tercapainya kesejahteraan spiritual dan material.
0 komentar:
Posting Komentar