A. PERISTIWA-PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI DAN TERBENTUKNYA NKRI.Soegiharsono
A. KEKALAHAN JEPANG DAN KEKOSONGAN KEKUASAAN
Perang Dunia II terjadi setalah Jepang membombardir Pearl Harbour
pada 7 Desember 1941. Hancurnya Pearl Harbour, ternyata memudahkan
Jepang untuk mewujudkan citacitanya, yaitu membentuk Persekemakmuran
Asia Timur Raya. Daerah - daerah di Asia Timur dan Asia Tenggara,
termasuk Indonesia berhasil diduduki oleh Jepang. Pembentukan
Persekemakmuran Asia Timur Raya berhasil diwujudkan, meskipun hanya
untuk sementara. Serangan Jepang ke Indonesia (Hindia Belanda) pertama -
tama terjadi 11 Januari 1942 dengan mendarat di Tarakan (Kalimantan
Timur). Balikpapan yang merupakan daerah yang kaya akan minyak bumi,
jatuh ketangan Jepang 24 Januari 1942, disusul kemudian Pontianak 29
Januari 1942, Samarinda 3 Pebruari 1942, Banjarmasin 10 Pebruari 1942.
Dalam perkembangannya, Jepang mulai mengalami kesulitan, terutama
setelah Amerika Serikat menarik sebagian pasukannya dari Eropa. Pada
bulan Mei 1942, serangan Jepang terhadap Australia dapat dihentikan
karena tentara Jepang menderita kekalahan dalam pertempuran Laut Koral
(Karang). Serangan Jepang terhadap Hawai juga dapat digagalkan oleh
tentara Amerika Serikat dalam pertempuran di Midway pada bulan Juni
1942. Kekalahan Jepang terhadap Sekutu, dengan ditanda tanganinya
perjanjian Post Dam, maka secara resmi Jepang menyerahkan kekuasaan pada
Sekutu. Dengan demikian di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan.
Kesempatan ini oleh bangsa Indonesia dimanfaatkan untuk memproklamasikan
kemerdekaan.
Setelah kalian mengamati Gambar 1 dan menjawab beberapa pertanyaan di
atas. Coba bandingkan pemahaman kalian dengan paparan di bawah ini.
Tidak lama setelah serbuan bala tentara Jepang secara mendadak ke
pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada tanggal 8
Desember 1941, Amerika Serikat seakan - akan lumpuh. Dalam kenyataannya
Jepang tidak dapat melumpuhkan Amerika Serikat, bahkan Amerika bangkit
dan menjadi musuh yang paling berat bagi Jepang. Melihat fenomena ini
muncul pertanyaan apakah serangan Jepang terhadap Pearl Harbour itu
bukan langkah yang keliru (Lihat Onghokham, 1989: 163). Lebih - lebih
setelah lima bulan Perang Asia Timur Raya berkorbar, Amerika Serikat
telah dapat memukul balik Jepang. Dalam perang laut Karang (4 Mei 1942)
dan disusul dengan perang di Guadacanal (6 Nopember 1942), Jepang secara
berturut - turut menderita kekalahan.
Kekalahan yang paling besar dialami Jepang dalam pertempuran laut
di dekat Kepulauan Bismarck (1 Maret 1943). Untuk mengakhiri peperangan
ini, maka pada tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom
atom yang pertama di atas kota Hirosyima. Tiga hari kemudian, tanggal 9
Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan lagi di atas Nagasaki. Akibatnya
bukan saja membawa kerugian material, karena hancurnya kedua kota
tersebut dan banyaknya penduduk yang menemui ajalnya. Tetapi secara
politis telah mempersulit kedudukan Kaisar Hirohito, karena harus dapat
menghentikan peperangan secepatnya guna menghindari adanya korban yang
lebih banyak lagi. Hal ini berarti bahwa Jepang harus secepatnya
menyerah kepada Sekutu atau Serikat. Akhirnya Jepang menyerah tanpa
syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Menurut rencana,
dengan mengambil tempat di atas geladak kapal perang Amerika Serikat
“Missouri” yang berlabuh di teluk Tokyo ditandatangani kapitulasi
penyerahan Jepang antara Jenderal Douglas Mc Arthur dengan Hirohito pada
tanggal 2 September 1945. Sebagai tindak lanjut dari penyerahan itu,
Sekutu mulai mengadakan perlucutan senjata, memulangkan tentara Jepang
dan mengadili penjahat perang.
Tugas di Indonesia dilaksanakan oleh tentara Inggris. Mengapa
tentara Inggris dan bukan tentara Amerika Serikat? Hal ini memang
dimungkinkan karena pada akhir tahun 1943 ditetapkan bahwa Pulau
Sumatera masuk dalam South East Asia Command (SEAC), di bawah Admiral
Inggris, Lord Louis Mountbatten yang pada waktu itu bermarkaskan di
India. Wilayah kepulauan lain masuk dalam South West Fasific Command di
bawah pimpinan Jenderal Amerika Serikat Douglas Mc Arthur, yang
berkedudukan di Australia.
B. PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Karena terjadi kekalahan Jepang terhadap Sekutu dalam beberapa
pertempuran seperti yang disebutkan diatas, maka Jepang mulai ngobral
janji. Janji itu dikenal dengan janji kemereekaan. Bila bangsa Indonesia
mau membantu Jepang dalam menghadapi Sekutu, maka kelak kemudian hari
akan diberikan kemerdekaan. Untuk mengawalinya dibentuklah Badan yang
bertugas menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan kemerdekaan yang
dijanjikan.
Pemerintah Jepang membentuk BPUPKI yang dlam perkembangannya
berubah menjadi PPKI.Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada
Sekutu tanpa syarat (unconditional surrender). Hal ini diumumkan oleh
Tenno Heika melalui radio. Kejadian itu jelas engakibatkan pemerintah
Jepang tidak dapat meneruskan janji atau usahanya mengenai kemerdekaan
Indonesia. Soal terus atau tidaknya usaha mengenai kemerdekaan Indonesia
tergantung sepenuhnya kepada para pemimpin bangsa Indonesia.
Sementara itu Sutan Sjahrir sebagai seorang yang mewakili pemuda
merasa gelisah karena telah mendengar melalui radio bahwa Jepang telah
kalah dan memutuskan untuk menyerah pada Sekutu. Sjahrir termasuk tokoh
pertama yang mendesak agar proklamasi kemerdekaan Indonesia segera
dilaksanakan oleh Sukarno - Hatta tanpa harus menunggu janji Jepang.
Itulah sebabnya ketika mendengar kepulangan Sukarno, Hatta dan Radjiman
Wedyodiningrat dari Dalat (Saigon), maka ia segera datang ke rumah Hatta
dan memintanya untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanpa harus
menunggu dari pemerintahan Jepang. Hatta tidak dapat memenuhi
permintaan Sjahrir maka diajaknya ke rumah Sukarno.
Namun Sukarno belum dapat menerima maksud Sjahrir dengan alasan
bahwa Sukarno hanya bersedia melaksanakan proklamasi, jika telah
diadakan pertemuan dengan anggota - anggota PPKI lain. Dengan demikian
tidak menyimpang dari rencana sebelumnya yang telah disetujui oleh
pemerintah Jepang. Selain itu Sukarno akan mencoba dulu untuk mengecek
kebenaran berita kekalahan Jepang tersebut.
C. PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Sikap Sukarno dan Hatta tersebut memang cukup beralasan karena jika
proklamasi dilaksanakan di luar PPKI, maka Negara Indonesia Merdeka ini
harus dipertahankan pada Sekutu yang akan mendarat di Indonesia dan
sekaligus tentara Jepang yang ingin menjaga status quo sebelum
kedatangan Sekutu. Sjahrir kemudian pergi ke Menteng Raya (markas para
pemuda) bertemu dengan para pemuda seperti: Sukarni, BM Diah, Sayuti
Melik dan lain-lain. Kemudian dilaporkan apa yang baru terjadi di
kediaman Bung Hatta dan Bung Karno. Mendengar berita itu kelompok muda
menghendaki agar Sukarno - Hatta (golongan tua) segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Menurut golongan muda, tidak seharusnya para
pejuang kemerdekaan Indonesia menunggu-nunggu berita resmi dari
Pemerintah Pendudukan Jepang.
Bangsa Indonesia harus segera mengambil inisiatifnya sendiri
untuk menentukan strategi mencapai kemerdekaan. Golongan muda kemudian
mengadakan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di
Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945, pukul 20.30.
Hadir antara lain Chaerul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio,
Subianto, Margono, Wikana, dan Alamsyah. Rapat itu dipimpin oleh Chaerul
Saleh dengan menghasilkan keputusan tuntutan - tuntutan golongan pemuda
yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat
Indonesia sendiri. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus
diputus dan sebaliknya perlu mengadakan rundingan dengan Sukarno dan
Hatta agar kelompok pemuda diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi.
Setelah rapat dan mengadakan musyawarah, maka diambil keputusan
untuk mendesak Sukarno agar bersedia melaksanakan proklamasi kemerdekaan
Indonesia secepatnya sehingga lepas dari Jepang. Yang mendapat
kepercayaan dari teman - temanya untuk menemui Sukarno adalah Wikana dan
Darwis. Oleh Wikana dan Darwis, hasil keputusan itu disampaikan kepada
Sukarno jam 22.30 di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur, No 56 Jakarta.
Namun sampai saat itu Sukarno belum bersedia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia tanpa PPKI. Di sini terjadi perdebatan sengit
antara Sukarno dengan Wikana dan Darwis. Dalam perdebatan itu Wikana
menuntut agar proklamasi dikumandangkan oleh Sukarno pada keesokan
harinya.
Peristiwa ini menunjukkan adanya ketegangan antara kelompok tua
dengan kelompok muda yang memiliki sifat, karakter, cara bergerak, dan
dunianya sendiri - sendiri. Perbedaan pendapat itu tidak hanya berhenti
pada adu argumentasi, tetapi sudah mengarah pada tindakan pemaksaan dari
golongan muda. Tentu saja semua itu demi kemerdekaan Indonesia.
Para pemuda itu kembali mengadakan pertemuan dan membahas
tindakan - tindakan yang akan dibuat sehubungan dengan penolakan
Soekarno - Hatta. Pertemuan ini masih dipimpin oleh Chaerul Saleh yang
tetap pada pendiriannya bahwa kemerdekaan harus tetap diumumkan dan itu
harus dilaksankaan oleh bangsa Indonesia sendiri, tidak seperti yang
direncanakan oleh Jepang. Orang yang dianggap paling tepat untuk
melaksanakan itu adalah Soekarno - Hatta. Karena mereka menolak usul
pemuda itu, pemuda memutuskan untuk membawa mereka ke luar kota yaitu
Rengasdengklok, letaknya yang terpencil yakni 15 km ke arah jalan raya
Jakarta - Cirebon. Menurut jalan pemikiran pemuda jika Soekarno - Hatta
masih berada di Jakarta maka kedua tokoh ini akan dipengaruhi dan
ditekan oleh Jepang serta menghalanginya untuk memproklamirkan
kemerdekaan ini dilakukan.
Pemilihan Rengasdengkolk sebagai tempat pengamanan Soekarno -
Hatta, didasarkan pada perhitungan militer. Antara anggota Peta Daidan
Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak mereka
mengadakan latihan bersama. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya
terpencil. Dengan demikian akan dapat dilakukan deteksi dengan mudah
terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang hendak datang ke
Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta, maupun dari arah
Bandung atau Jawa Tengah.
Tujuan penculikan kedua tokoh ini selain untuk mengamankan mereka
dari pengaruh Jepang, juga agar keduanya mau segera memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia terlepas dari segala ikatan dengan Jepang. Pada
dasarnya Soekarno dan Hatta tidak mau ditekan oleh anak - anak muda itu,
sehingga mereka tidak mau memproklamirkan kemerdekaan. Dalam suatu
pembicaraan dengan Shodanco Singgih, Soekarno memang menyatakan
kesediannya untuk mengadakan proklamasi segera setelah kembali ke
Jakarta. Melihat sikap Soekarno ini, maka para pemuda berdasarkan
rapatnya yang terakhir pada pukul 00.30 waktu Jawa jaman Jepang (24.00
WIB) tanggal 16 Agustus 1945 terdapat keputusan akan menghadakan
penculikan terhadap Soekarno dan Hatta dalam rangka upaya pengamanan
supaya tidak terpengaruh dari segala siasat Jepang.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 (waktu Jepang) atau
pukul 04.00 WIB penculikan (menurut golongan tua) dilaksanakan. Tidak
diketahui secara jelas siapakah yang memulai peristiwa ini. Ada yang
mengatakan Sukarni-lah yang membawa Soekarno- Hatta dini hari ke
Rengasdengklok. Menurut Soekarno Sjahrir-lah yang menjadi pemimpin
penculikan dirinya dengan Hoh. Hatta. Di Rengasdengklok inilah Bung
Karno didesak untuk memproklamirkan kemerdekaan. Menurut Diah gagasan
ini semacam ilham. Di kota ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai
tempat pemusatan kekuasaan bersenjata yang akan merebut Jakarta setelah
proklamasi. Walaupun sudah diamankan ke Rengasdengklok, Soekarno - Hatta
masih tetap dengan pendiriannya. Sikap teguh Soekarno-Hatta itu antara
lain karena mereka belum percaya akan berita yang diberikan oleh pemuda
serta berita resmi dari Jepang sendiri belum diperoleh.
Seorang utusan pemuda yang bernama Yusuf Kunto dikirim ke Jakarta
untuk melaporkan sikap Soekarno - Hatta dan sekaligus untuk mengetahui
persiapan perebutan kekuasaan yang dipersiapkan pemuda di Jakarta.
Achmad Subardjo sibuk mencari informasi kebenaran tentang penyerahan
Jepang kepada Sekutu yang tiba - tiba dikagetkan dengan hilangnya
Soekarno - Hatta. Keberadaan Soekano - Hatta akhirnya diketahui dari
Wikana, saat itu juga Achmad Subardjo datang ke Rengasdengklok dan
berhasil menyakinkan para pemuda bahwa proklamasi pasti akan diucapkan
keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehingga pada tangal 16
Agustus 1945 malam hari Soekarno - Hatta dibawa kembali ke Jakarta.
Sementara itu di Jakarta telah terjadi kesepakatan antara golongan tua,
yakni Achmad Soebardjo dengan Wikana dari golongan muda untuk mengadakan
proklamasi di Jakarta. Laksamana Muda Maeda bersedia untuk menjamin
keselamatan mereka selama berada di rumahnya.
Berdasarkan kesepakatan itu Jusuf Kunto dari pihak pemuda dan
Soebardjo yang diikuti oleh sekretaris pribadinya mbah Diro (Sudiro)
menuju Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno. Semua ini dilakukan
tidak lepas dari rasa prihatin sebagai orang Indonesia, sehingga
terpanggil untuk menghusahakan agar proklamasi kemerdekaan Indonesia
dapat dilaksanakan secepat mungkin. Namun sebelumnya perlu mempertemukan
perbedaan pendapat antara golongan tua dan muda. Untuk itu maka
Soekarno dan Hoh. Hatta harus terlebih dahulu kembali dari
Rengasdengklok ke Jakarta. Rombongan yang terdiri dari Achmad Soebardjo,
Sudiro dan Yusuf Kunto segera berangkat menuju Rengasdengklok, tempat
dimana Soekarno dan Moh.Hatta diamankan oleh pemuda. Rombongan tiba di
Rengasdengklok pada jam 19.30 (waktu Tokyo) atau 18.00 (waktu Jawa
Jepang) atau pukul 17.30 WIB dan bermaksud untuk menjemput dan segera
membawa Seoekarno - Hatta pulang ke Jakarta. Perlu ditambahkan juga,
disamping Soekarno dan Hatta ikut serta pula Fatmawati dan Guntur
Soekarno Putra. Peranan Achmad Subardjo sangat penting dalam peristiwa
ini, karena mampu mempercayakan para pemuda, bahwa proklamasi akan
dilaksanakan keesokan harinya paling lambat pukul 12.00 WIB. Ini dapat
dikabulkan dengan jaminan nyawanya sebagai taruhannya.
Akhirnya Subeno komandan kompi Peta setempat bersedia melepaskan
Soekarno - Hatta ke Jakarta. Achmad Subardjo adalah seorang yang dekat
dengan golongan tua maupun muda, bahkan dia juga sebagai penghubung
dengan pemuka angkatan laut Jepang Laksamana Madya Maeda. Dan melalui
dia, Maeda menawarkan rumahnya sebagai tempat yang aman dan terlindung
untuk menyusun naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik yang sudah lama di
tunggu - tunggu.
D. PENYUSUNAN TEKS PROKLAMASI
Bertitik tolak dari keadaan yang demikian, kedudukan Maeda baik
secara resmi maupun pribadi menjadi sangat penting. Dan justru dalam
saat - saat yang genting itu, Maeda telah menunjukkan kebesaran
moralnya. Berdasarkan keyakinan bahwa kemerdekaan merupakan aspirasi
alamiah dan yang tidak terhindarkan dukungannya kepada tujuan kebebasan
Indonesia. Di tempat kediaman Maeda Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta teks
prokamasi ditulis.
Kalimat yang pertama yang berbunyi “Kami rakyat Indonesia dengan
ini menyatakan kemerdekaan kami” kemudian berubah menjadi “Kami bangsa
Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia” berasal dari
Achmad Subardjo. Kalimat kedua oleh Soekarno yang berbunyi “Halhal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain - lain akan diselenggarakan
dengan cara yang secermat - cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat -
singkatnya”. Kedua kalimat ini kemudian digabung dan disempurnakan oleh
Moh. Hatta sehingga berbunyi seperti teks proklamasi yang kita miliki
sekarang.
Sekarang timbullah masalah siapakah yang akan menandatangani
naskah proklamasi. Soekarno menyarankan agar semua yang hadir
menandatangai naskah proklamasi itu elaku “Wakil - wakil Bangsa
Indonesia”. Saran itu mendapat tantangan daripara pemuda. Kemudian
Sukarni selaku salah seorang pimpinan pemuda mengusulkan, agar Soekarno -
Hatta menandatangani atas nama bangsa Indonesia. Usul ini diterima
dengan suara bulat. Selanjutnya Soekarno minta kepada Sayuti Melik untuk
mengetik naskah tulisan tangan tersebut.
E. PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Sebelum teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan, terlebih
dahulu Soekarno menyampaikan pidatonya, lengkapnya sebagai berikut:
Saudara - saudara sekalian! Saja sudah minta saudara - saudara hadlir
disini untuk menjaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.
Berpuluh - puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berdjoang untuk
kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus - ratus tahun!
Gelombangnja aksi kita untuk mentjapai kemerdekaan kita itu ada naik dan
ada turunnya, tetapi djiwa kita tetap menudju kearah tjita - tjita.
Djuga di dalam djaman Djepang, usaha kita untuk mentjapai kemerdekaan
nasional tidak henti - henti.
Di dalam djaman Djepang ini, tampaknja sadja kita menjandarkan
diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menjusun tenaga
kita sendiri, tetap kita pertjaja kepada kekuatan sendiri. Sekarang
tibalah saatnja kita benar - benar mengambil nasib bangsa dan nasib
tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanja bangsa jang berani
mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnja.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musjawarat dengan pemuka - pemuka
rakjat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusjawaratan itu seia -
sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnja untuk menjatakan
kemerdekaan kita. Saudara - saudara! Dengan ini kami njatakan kebulatan
tekad itu. Dengarlah proklamasi kami: Adapun isi dari teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia adalah:
Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah yaitu kata tempoh
diganti menjadi tempo, sedangkan wakil - wakil bangsa Indonesia diganti
dengan Atas nama Bangsa Indonesia dan Djakarta 17 - 8 - 05 menjadi
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Teks Proklamasi ini akhirnya
diproklamirkan pada hari Jumat Legi pada pukul 10.00 WIB di Jalan
pegangsaan Timur No.56 Jakarta. Dalam peristiwa proklamasi itu,
disusunlah acara sebagai berikut:
- Pembacaan Proklamasi. Disampaikan oleh Soekarno, kemudian
dilanjutkan dengan pidato singkat berbunyi: Demikianlah,
saudara-saudara ! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan
lagi yang mengikat tanah-air kita bangsa kita! Mulai saat ini kita
menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, medeka
kekal dan abadi. Insya allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!
- Pengibaran bendera Merah Putih. Pengibaran dilaksanakan oleh
Suhud dan Latief Hendradiningrat. Namun secara spontan peserta
menyanyikan lagu Indonesia Raya, sehingga sampai sekarang pengibaran
bendera Merah Putih dalam setiap upacara bendera selalu diiringi dengan
lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
- Sambutan Wali Kota Suwirjo dan dr. Muwardi.
Peristiwa besar tersebut hanya berlangsung lebih kurang satu jam
lamanya. Namun demikian pengaruhnya besar sekali, sebab perstiwa
tersebut telah membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu bukan hanya sebagai
tanda bahwa sejak itu bangsa Indonesia telah merdeka, tetapi di sisi
lain juga merupan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus
detik pembangunan bagi tertib hukum nasional, suatu tertib hukum
Indonesia. Proklamasi kemerdekaan itu merupakan salah satu sarana untuk
merealisasikan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur, serta untuk ikut membentuk “dunia baru” yang damai dan abadi,
bebas dari segala penghisapan manusia oleh manusia dan bangsa oleh
bangsa lain.
F. MAKNA PROKLAMASI
Menurut kalimat - kalimat yang terdapat di dalam teks Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berisi suatu pernyataan kemerdekaan yang
memberi tahu kepada bangsa Indonesia sendiri dan kepada dunia luar,
bahwa saat itu bangsa Indonesia telah merdeka, lepas dari penjajahan.
Bangsa Indonesia benar - benar telah siap untuk mempertahanka
kemerdekaan yang telah diproklamasikannya itu, demikian juga siap untuk
mempertahankan negara yang baru didirikan tersebut. Hal itu ditunjukkan
oleh kalimat pertama pada naskah proklamasi yang berbunyi: “Kami banga
Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Apabila
ditelaah, maka proklamasi kemerdekaan itu mengandung beberapa aspek:
- Dari sudut Ilmu Hukum, maka proklamasi atau pernyataan yang
berisikan keputusan bangsa Indonesia telah menghapuskan tata hukum
kolonial untuk pada saat itu juga digantikan dengan tata hukum nasional
(Indonesia).
- Dari sudut politik - ideologis, maka proklamasi atau pernyataan
yang berisikan keputusan bangsa Indonesia telah berhasil melepaskan
diri dari segala belenggu penjajahan dan sekaligus membangun perumahan
baru, yaitu perumahan Negara Proklamasi Republik Indonesia yang bebas,
merdeka dan berdaulat penuh.
- Proklamasi Kemerdekaan ialah suatu alat hukum internasional
untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia, bahwa bangsa Indonesia
mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh
hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan dan
kebahagiaan rakyat.
- Proklamasi sebagai dasar untuk meruntuhkan segala hal yang
mendukung kolonialisme, imperialisme dan selain itu proklamasi adalah
dasar untuk membangun segala hal yang berhubungan langsung dengan
kemerdekaan nasional.
- Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga dapat dipandang
sebagai puncak perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai
kemerdekaannya. Perjuangan rakyat tersebut telah mengorbankan harta
benda, darah dan jiwa yang berlangsung sudah sejak berabad - abad
lamanya untuk membangun persatuan dan kesatuan serta merebut kemerdekaan
bangsa dari tangan penjajah.
- Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bertujuan untuk
kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia. Agar kita bahagia, antara lain
harus ada kesamaan diantara kita semua meliputi berbagai bidang misalnya
bidang ideologi, bidang politik, bidang ekonomi, bidang hukum, bidang
sastra kebudayaan, pendidikan dan lain - lain.
Dengan berhasil diproklamirkannya kemerdekaan, maka bangsa dan negara
Indonesia telah lahir sebagai bangsa dan negara yang merdeka, baik
secara de fakto maupun secara de yure.
G. DUKUNGAN DAERAH TERHADAP PEMBENTUKAN NEGARA DAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA
Proklamasi Kemerdekaan telah dibentuk negara Republik Indonesia. Ada
beberapa langkah yang dilakukan oleh PPKI dalam rangka untuk
menyempurnakan Indonesia sebagai negara dengan pemerintahan yang sah
yaitu:
- Pertama, pada tanggal 18 Agustus 1945
- Mengesahkan dan menetapkan Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Undang Undang Dasar 1945.
- Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.
- Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai lembaga legislatifnya.
- Kedua, tanggal 19 Agustus 1945
- Pembagian wilayah Indonesia menjadi, terdiri atas 8 propinsi
yaitu; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Borneo (Kalimantan),
Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, dan Sumatra.
- Pembentukan Komite Nasional Indonesia di daerah.
- Membentuk 13 kementrian yaitu; Departemen Dalam Negeri,
Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman, Departemen Keuangan,
Departemen Kemakmuran, Departemen Kesehatan, Departemen
Pengajaran,Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Sosial, Departemen
Pertahanan, Departemen Perhubungan, dan Departemen Pekerjaan Umum.
- Ketiga, tanggal 22 Agustus 1945
- Pembentukan Komite Nasional.
- Pembentukan Partai nasional Indonesia,dan
- Pembentukan Badan Keamanan Rakyat.
Kemerdekaan yang diproklamirkan tersebut ternyata mendapat sambutan
yang luar biasa dari daerah - daerah. Respon penting yang perlu mendapat
perhatian adalah dari Yogyakarta. Pada tanggal 5 September 1945 Sri
Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan Negeri Ngayogyokarto Hadidingrat
yang bersifat kerajaan sebagai Daerah Istimewa dalam Negera Republik
Indonesia.
Penyambutan kemerdekaan terus terjadi, pada tanggal 19 September
1945 terjadi dua peristiwa penting di tanah air secara bersamaan. Di
Surabaya terjadi peristiwa yang dikenal dengan nama Insiden Bendera di
Hotel Oranye yaitu perobekan bendera tiga warna (merah, putih, dan biru)
milik Belanda menjadi dua warna (merah putih). Di Jakarta terjadi rapat
raksasa di Lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) untuk menyambut
Proklamasi Kemerdekaan. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah,
maka Presiden Soekarno berkata;
”Percayalah rakyat kepada pemerintah Republik Indonesia. Kalau memang
saudara - saudara percaya kepada pemerintah Republik yang akan
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan
dirobek - robek, kami tetap akan mempertahankan. Maka berilah
kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah -
perintah dan tunduk kepada disiplin”.
Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai tanggal 26
September 1945. Sejak pagi semua pegawai instansi pemerintahan dan
perusahaan - perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi
pemogokan. Mereka memaksa orang - orang Jepang agar menyerahkan
kantormereka kepada orang Indonesia.
B. perjuangan mempertahankan kemerdekaan di berbagai daerah
Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, I Gusti Ngurah Rai pernah mengambil
siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali.
Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini
terkenal dengan sebutan Long March. Selama diadakan Long March itu
pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering
terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak
pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di
sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam
pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak
menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali
menuju arah barat menuju banjar ole yang kemudian sampai di Desa Marga
(Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan,
ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama
dengan masyarakat. Perpindahan ini diketahui oleh pasukan Belanda.
Mereka pun mengadakan serangan besar-besaran di desa marga. Namun saat
itu pasukan I GUsti Ngurah Rai yakni pasukan Ciung Wenara berhasil
menghalaunya.
Pasukan Belanda tidak kehabisan akal. Pasukan belanda
ternyata mendapatkan bantuan pesawat tempur dan senjata sehingga
kedudukan pun menjadi semakin tak seimbang. Peralatan tempur Belanda
menyulitkan I Gusti Ngurah rai untuk melakukan perlawanan.
Pasukan I
Gusti Ngurah Rai kemudian terjebak dalam medan terbuka yang
dibalakangnya terdapat jurang yang sangat dalam. Dalam kondisi seperti
inilah beliau mengeluarkan perintah untuk melakukan puputan. Disini para
pemuda Bali berkumpul dan membantu perjuangan dari pasukan I Gusti
Ngurah Rai.
Pada waktu berada di desa marga Letnan Kolonel I Gusti
Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA
yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November
1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa senjata dan pelurunya
dapat direbut. I Gusti Ngurah Rai pun berhasil membujuk seorang komandan
polisi NICA untuk ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai.
Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada tanggal 20
November 1946 dini hari, pasukan Belanda mulai mengadakan pengurungan
terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi
tembak-menembak antara pasukan NICA dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai.
Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang
mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan
dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang
didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua
anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah
penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan"
sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk
Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda kurang lebih 400 orang
yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena
pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
I Gusti
Ngurah Rai melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama
Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti "habis-habisan",
sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah
desa ibukota salah satu kecamatan Kabupaten Tabanan, Bali).
7.Perjanjian Linggarjati
Perundingan
Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah
suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa
Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan
Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka
Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25
Maret 1947.
Latar Belakang
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA
ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia
menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti
contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi
penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di
Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris,
mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun
perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui
kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda hanya mau
mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.
HOGE VOLUWE
Perjanjian
Linggarjati didahului oleh perundingan di HogeVoluwe, Negeri Belanda
dari tanggal 14-24 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang disusun
oleh Sjahrir, Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir II.
Sebelumnya
tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat Perdana Mentri dalam
Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana
Belanda yang berisi pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang
terdiri atas kesatuan kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai
tingkat negara persemakmuran menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu
peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan
dilanjutkan berdasarkan kerjasama yang bersifat sukarela.
Sementara
itu pemerintah Inggris mengangkat seseorang Diplomat tinggi Sir
Archibald Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel),
untuk bertindak sebagai ketua dalam perundingan Indonesia – Belanda.
Segera
setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usulan-usulan
tandingan. Yang penting dalam usul itu ialah bahwa : (A) RI diakui
sebagai negara berdaulat yang meliputi daerah bekas Hindia Belanda, dan
(B) antara negeri Belanda dan RI dibentuk Federasi. Jelaslah behwa usul
ini bertentangan dengan usul Van Mook. Setelah diadakan perundingan
antara Van Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan :
(a) Rancangan perstujuan diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Internasional dengan “Preambule”.
(b) Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de Facto Republik atas Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada
rapat Pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa
rancangannya merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh
pemerintahnya . Maka diputuskan bahwa Van Mook akan pergi ke Negeri
Belanda, dan cabinet mengirim satu delegasi ke Negeri Belanda yang
terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan diadakan
tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama perundingan sudah mencapai
Deadlock, karena bentuk perjanjian Internasional (treaty) tidak dapat
diterima oleh kabinet Belanda. Perjanjian Internasional akan berarti
bahwa RI mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda didunia
Internasional. Padahal Belanda tetap menganggap dirinya sebagai negara
pemegang kedaulatan atas Indonesia. Perundingan di Hoge Voluwe merupakan
kegagalan, akan tetapi pengalaman yang diperoleh dari perundingan Hoge
Voluwe ternyata berguna dalam perjanjian Linggarjati
Misi pendahuluan
Pada
akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke
Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal
Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin
oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan
senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di
Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.
Jalannya perundingan Linggarjati
Dalam
perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir III yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota: Mohammad
Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim yang
disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota Max
Van Poll, F de Boer, dan HJ Van Mook. Lord Killearn dari Inggris
bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingan
Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:
1)Pemerintah
RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara
berdasar federasi, yang dinamai Republik Indonesia Serikat.
2)Pemerintah Republik Indonesia Serikat akan tetap bekerja sama dengan pemerintah Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda.
3)Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
Dampak Perjanjian Linggarjati
Perjanjian
Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat
Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai
Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut
menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan
Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung
perundingan linggarjati.
Pelanggaran Perjanjian
Pelaksanaan
hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947,
Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak
terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947,
meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari
perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.
8.Agresi Militer Belanda I
Agresi
Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera
terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5
Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan
Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product".
Latar belakang
Pada
tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI
menarik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu
pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Tujuan utama agresi
Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah
yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok
untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai
Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam
negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan
pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat
dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda
telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang
modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris
dan tentara Australia.
Agresi
Serangan di beberapa daerah,
seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak
tanggal 20 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi
militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil
menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di
Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan
tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan
tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di
Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan
tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda
juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciaale Troepen
(KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I
(1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST
(pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi
Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa,
melainkan dikirim juga ke Sumatera.
Agresi tentara Belanda berhasil
merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting
dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29
Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan
pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah
Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor
Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman
Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Pada 9
Desember 1947, terjadi Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda
membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang
dan Bekasi, Jawa Barat.
Campur tangan PBB
Republik Indonesia
secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi
militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional,
yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan
reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak
lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan
Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan
Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian
mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya
menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de
facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam
semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi
menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi
pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian
resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1
November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan
Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan
Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan
PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya
menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan
pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan
gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk
suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan
Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices
for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal
sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara,
yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh
Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia
diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Dampak Agresi Militer Belanda I
Dampak
dari agresi militer yang dilakukan oleh Belanda menimbulkan jatuhnya
ribuan korban rakyat Indonesia. Agresi militer yang dilakukan oleh
Belanda juga menimbulkan reaksi dari dunia internasional. Dewan keamanan
PBB ikut campu tangan dalam usaha penanganan masalah permusuhan antara
Indonesia dengan Belanda. Dewan keamanan PBB pun memfasilitasi kedua
negara yang bertikai untuk berunding mencari jalan penyelesaian masalah.
PP membentuk komisi untuk penyelesaian masalah Indonesia-Belanda yang
dikenal dengan Komisi Tiga Negara. Indonesia dan Belanda diberikan
kesempatan untuk memilih satu negara sebagai wakil untuk menjadi anggota
komisi. Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya yang diwakili oleh
Richard Kirby dan Belanda memilih Belgia sebagai wakilnya yang diwakili
oleh Paul Van zeeland. Amerika Serikat ditunjuk untuk menjadi penengah
dalam komisi ini.
Dampak lain dari Aresi militer Belanda yang pertama
ini juga menyebabkan kabinet Syahrir III jatuh, karena dianggap gagal
dalam perundingan dengan Belanda .
9.Perjanjian Renville
Latar Belakang
Perjanjian
Renville merupakan kelanjutan dari perundingan yang dilakukan oleh
kedua negara yang bertikai yaitu Indonesia dan Belanda yang difasilitasi
oleh Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh PBB. KTN bersepakat
untuk membawa kembali masalah antara Indonesia dan Belanda ini ke meja
perundingan yang akan dilaksanakan diatas kapal milik Amerika Serikat
yang bernama U.S.S. Renville
Proses Perundingan
Dengan
difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia, pada 8
Desember 1947 dimulai perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal
Perang AS Renville sebagai tempat netral, karena Pemerintah Republik
Indonesia menolak berunding di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh
Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Dan yang sangat luar biasa di
sini adalah, delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R.
Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Di sini terlihat jelas keberhasilan politik
divide et impera Belanda yang dapat menampilkan seorang pribumi untuk
menghadapi bangsanya sendiri. Namun ini juga menunjukkan watak
orang-orang seperti Wijoyoatmojo, yang demi pangkat, jabatan dan uang,
rela mengorbankan –bahkan membunuh- bangsanya sendiri untuk kepentingan
penjajah.
Pada perundingan di kapal Renville tersebut, Belanda
kembali menunjukkan keunggulan berdiplomasi dalam perundingan dan di
lain pihak, Indonesia sekali lagi menunjukkan kelemahannya. Belanda
bersikukuh dengan sikap mereka, yaitu tidak bersedia mundur ke batas
demarkasi sebelum agresi militer, dan tetap mempertahankan batas
demarkasi baru yang dinamakan “Garis van Mook” sebagai hasil agresi
militer mereka. Garis van Mook itu untuk Belanda merupakan “Dream Line”
(garis impian) karena dengan demikian Belanda memperoleh penambahan
wilayah yang sangat besar, baik di Sumatera mau pun di Jawa, terutama
daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan
oleh Belanda, seperti minyak dan hasil pertambangan lain.
Tanggal 17
Januari 1948, ditandatangani kesepakatan antara Pemerintah RI dan
Pemerintah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai “Persetujuan
Renville.”
Namun sejak Pemerintah RI dan Belanda pada 17 Agustus 1947
sepakat untuk diadakannya gencatan senjata hingga ditandatanganinya
Persetujuan Renville, pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda
dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit
pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti
yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.
Sebagai hasil Persetujuan
Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong)
yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi
“Hijrah” ke Jawa Tengah.
Dampak Perjanjian Renville
Perjanjian
Renville menimbulkan dampak yang merugikan bagi Indonesia karena pihak
Indonesia harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan
menyebabkan Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat untuk
melakukan perjalanan ke jawa Tengah. Tidak semua pejuang Indonesia yang
berada di jawa Barat mematuhi keputusan dari perjanjian Renville.
Berbagai pasukan yang tergabung dalam Barisan Bambu Runcing dan Laskar
Hisbullah dibawah pimpinan Sekarmaji marijan Kartosuwiryo menolak untuk
meninggalkan Jawa Barat dan memilih untuk tetap bertahan dan melakukan
perlawanan terhadap Belanda.
Kabinet Amir Syarifuddin tidak dapat
dipertahankan lagi karena banyak pihak yang menentang hasil-hasil
perundingan dan kabinet Amir Syarifuddin dianggap gagal dan pada tanggal
23 Januari 1948 mandatnya sebagai Perdana Menteri diserahkan kembali
kepada Presiden Republik Indonesia.
10.Agresi Militer Belanda II
Agresi
Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan
serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta
penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh
lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah
Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin
Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka
menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke
Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang
itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota
agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak
diplomatik dapat diadakan.
Latar Belakang
Belanda yang
masih inginmenguasai wilayah-wilayah di Indonesia akhirnya melakukan
pelanggaran terhadap keputusan yang dihasilkan pada perjanjian Renville.
Belanda. Belanda melanggar kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata
dan melancarkan serangannya ke wilayah Republik Indonesia.
Serangan ke Maguwo
Tanggal
18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan,
bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan
mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah
berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan
instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk
memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan
"Operasi Kraai."
Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I)
KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas
pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul
3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh
Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan
pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten
Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal
landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui
Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat
pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45
pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan
terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM
Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat
dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik
di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI,
Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II
telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini
sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan terhadap Ibukota Republik,
diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari.
Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur
oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo
hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan
persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan
anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan
pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap.
Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas
Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit.
Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout.
Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak
penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432
anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh
kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon,
1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah
pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai
bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga
dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di
daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa
penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai
serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang
dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Dampak Agresi Militer Belanda II
Dalam
setiap aksi militer yang dilakukan oleh Belanda menimbulkan korban yang
tidak sedikit dari pihak Indonesia. Belanda yang secara terang-terangan
tidak mengakui lagi hasil kesepakatan dalam perjanjian Renville terus
melakukan serangan ke wilayah Republik Indonesia. Aksi yang dilakukan
Belanda ini membuat Dewan Keamanan PBB memaksa Belanda dan Indonesia
untuk kembali naik ke meja perundingan. Selain itu Amerika Serikat juga
mencam akan menghentikan bantuan keuangan dan ekonomi kepada Belanda
apabila terus melakukan aksinya tersebut.
11.Pemerintahan darurat Republik Indonesia
Pembentukkan
Pemerintahan darurat Republik Indonesia dilatar belakangi oleh kondisi
yang terjadi pada Republik Indonesia pada waktu itu. Belanda yang secara
terang-terangan tidak mengakui lagi hasil kesepakatan dalam perjanjian
Renville melancarkan serangan ke Ibukota Republik Indonesia di
Yogyakarta dan berhasil menangkap serta menahan para pemimpin bangsa
seperti Soekarno, Mohammad hatta, dan Syahrir. Mendengar kondisi
Republik Indonesia yang demikian, Mr. Syafruddin Prawiranegara yang
menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi
berinisiatif untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI).
Saat itulah, Mr. Syafruddin Prawiranegara, yang menjabat
Menteri Kemakmuran dan saat itu sedang berada di Bukittinggi, mendirikan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Selatan pada 22
Desember 1948, dan berusia hanya beberapa bulan saja, tepatnya sampai
dengan 13 Juli 1949.
Ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda
telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan
Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr.
Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan
Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris
Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam
itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh
15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Sejumlah tokoh pimpinan Republik
yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22
Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr.
Syafruddin Prawiranegara, Mr.TM. Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid,
Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul,
Maryono Daubroto, Direktur BNI Mr. A Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif.
Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22
Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam
rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:
Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
Mr. St. Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.
Sekitar
satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi
antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka
saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di
Sumatera dan Jawa.
Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan
Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948, Prawiranegara mengumumkan
penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
sebagai berikut:
Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
Mr. AA Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
Kyai H. Maskur, Menteri Agama.
Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
Sementara para Pejabat di bidang militer:
Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
Kolonel AH. Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
Komodor Udara Humbertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian
pada 16 Mai 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang
dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.
Selain
itu dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis,
Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan LN.
Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa,
adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik
Indonesia di dunia internasional. Dalam situasi ini, secara de facto,
Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik
Indonesia.
Walaupun usia Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( PDRI
) hanya berusia pendek, namun hal itu sangatlah besar artinya bagi
perjuangan bangsa Indonesia, karena disaat pemerintahan resmi tidak
berjalan karena Agresi Militer Belanda, Indonesia tetap mempunyai
pemerintahan yang siap dalam memperjuangkan haknya sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat penuh. Jadi tidak ada ke-vakum-an dalam
pemerintahan.
C. PERJUANGAN MENGHADAPI PERGOLAKAN DALAM NEGERI
Andi Azis adalah seorang mantan Letnan KNIL dan sudah masuk TNI dengan
pangkat Kapten, dia ikut berontak bahkan memimpinnya. Dia memiliki
riwayat yang sama uniknya dengan petualang KNIL lainnya seperti
Westerling. Andi Aziz memiliki cerita hidupnya sendiri. Cerita hidupnya
sebelum berontak jauh berbeda dengan orang – orang Sulawesi Selatan pada
umumnya. Tidak heran bila Andi Azis menjalanani pekerjaan yang jauh
berbeda seperti orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya, sebagai
serdadu KNIL. Bisa dipastikan Andi Azis adalah salah satu dari sedikit
orang Bugis yang menjadi serdadu KNIL. Bukan tidak mungkin bila Andi
Azis adalah orang Bugis dengan pangkat tertinggi dalam KNIL.
Usai Penyerahan Kedaulatan (Souvereniteit Overdracht) pada tanggal 27
Desember 1949, dalam negeri Republik Indonesia Serikat mulai bergelora.
Serpihan ledakan bom waktu peninggalan Belanda mulai menunjukkan
akibatnya. Pada umumnya serpihan tersebut mengisyaratkan tiga hal.
Pertama, ketakutan antek tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL, yang
bertanya-tanya akan bagaimana nasib mereka setelah penyerahan
kedaulatan tersebut. Kedua, terperangkapnya para pimpinan tentara yang
jumlahnya cukup banyak dalam penentuan sikap dan ideologi mereka.
Utamanya para pimpinan militer didikan dan binaan Belanda. Terakhir,
masih banyaknya terjadi dualisme kepemimpinan dalam kelompok ketentaraan
Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok pejuang gerilya.
Walaupun sejak bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah mengeluarkan
kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik yang tergabung dalam
biro perjuangan maupun yang lepas berada dalam satu wadah dan satu
komando yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga hal tersebut
semakin mengental pada daerah yang masih kuat pengaruh “Belandanya”.
Salah satu daerah dimaksud adalah wilayah Sulawesi Selatan. Tiga
peristiwa di tahun 50 yang terjadi dikota Makassar dan wilayah Sulawesi
Selatan memperlihatkan kekentalan tersebut. Peristiwa pertama terjadi
pada tanggal 5 April 1950 yang terkenal sebagai peristiwa Andi Azis.
Peristiwa kedua yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 dan ketiga yang
terjadi pada tanggal 5 Agustus 1950. Dalam ketiga peristiwa tersebut
yang menjadi penyebabnya selalu permasalahan mengenai kegamangan tentara
KNIL akan nasib mereka. Sedangkan 2 peristiwa terakhir menjadi tolak
ukur dari kegamangan tersebut. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dalam pertemuan pers mengatakan bahwa tidak heran
dengan terjadinya peristiwa paling akhir pada tanggal 5 Agustus 1950
(Sin Po 8/8/50). Rentetan ketiga peristiwa di Makassar tersebut agaknya
selalu bermula dari upaya-upaya para anggota KNIL (kemudian dilebur
dalam KL) untuk mengacaukan kehidupan rakyat di Makassar sekaligus
berupaya untuk memancing tentara APRIS memulai serangan kepada mereka.
Tidak kalah ikut menentukan suasana panas dikota Makassar adalah
persoalan tuntutan masyarakat untuk segera menuju negara kesatuan. Tentu
saja gerakan rakyat ini tidak saja terjadi di Indonesia Timur, tapi
juga di Jawa Timur, Pasundan, Sumatera Timur dan berbagai daerah
lainnya. Pemerintah RIS dalam hal ini atau setidaknya banyak pihak dalam
kabinet dan Parlemen sangat memberi angin menuju Negara Kesatuan.
Rencana kedatangan tentara APRIS ke Makassar nampaknya terlalu
dibesar-besarkan semata-mata karena rasa takut akan menguntungkan pihak
pemerintah pusat (RIS). Oleh karena itu bukan tidak mungkin
pemberontakan Andi Aziz adalah rekayasa politik pihak KNIL akibat
provokasi tokoh-tokoh anti RIS dalam pemerintahan Negara Indonesia
Timur. Andi Aziz diyakini oleh banyak pihak adalah seorang anggota
militer dengan pribadi yang baik. Namun dalam skala kesatuan militer
KNIL di Sulawesi Selatan dirinya lebih condong sebagai boneka. Tampak
bahwa Kolonel Schotborg dan jakasa agung NIT Sumokil adalah pengendali
utama kekuatan KNIL dikota Makassar.
Nama lengkapnya adalah Andi Abdoel Aziz, ia terlahir dari pasangan Andi
Djuanna Daeng Maliungan dan Becce Pesse. Anak tertua dari 11 bersaudara.
Ia menyandang gelar pemberontak akibat perjuangannya untuk
mempertahankan existensi Negara Indonesia Timur. Ia mengambil alih
kekuasaan militer di Makassar pada 5 April 1950 ketika umurnya baru 24
tahun. Ia adalah korban politik Belanda divide et impera, di pengadilan
militer ia mengakui menyesal bahwa ia buta politik. Sejak umur 10 tahun,
Andi Aziz sudah dikirim oleh orang tuanya ke negeri Belanda untuk
sekolah dan menyelesaikan sekolah lanjutannya disana.
Tahun 1939-1940 pecah Perang Dunia ke 2. Belanda kena getahnya akibat
serangan oleh Jerman. Andi Aziz bersama dengan rekan rekan sekolahnya
turut ikut berjuang bergerak di bawah tanah melawan Jerman. Pada saat
itu kedudukan Andi Aziz cukup terdesak sehingga ia memutuskan untuk
hijrah ke Inggris. Karena Inggris adalah sekutu Belanda maka hal ini
sangat mempermudah ruang geraknya. Disana ia dididik oleh Inggris di
akademi militer. Ia adalah kawan sebangku Jendral Moshe Dayan mantan
Menteri Pertahanan Israel dan juga Raja Hussein dari Yordania. Ia tamat
pendidikan para-militer payung pada tahun 1943 dengan pangkat Letnan
muda dan bertugas di Inggris.
Pada akhir tahun 1943 ia meminta kepada Inggris untuk diterjunkan di
Belanda dan membantu melawan Jerman. Niat sebetulnya adalah untuk
mengunjungi Ayah angkatnya yang berada di Belanda waktu itu, yang mana
adalah juga seorang pejabat tinggi Belanda di Pare Pare, Sulawesi
Selatan. Pada tahun 1944 ia kembali ke Inggris setelah sempat membantu
Belanda melawan Jerman. Sebagai tentara Inggris ia di kirim ke Calcutta,
India yang mana adalah salah satu Negara jajahan Inggris. Disana ia
mengikuti latihan perang di dalam hutan, setelah 3 bulan mengikuti
latihan perang gerilya ia kemudian dikirim oleh Inggris ke Singapura
pada tahun 1945 untuk melawan Jepang. Belum sempat melawan Jepang
ternyata Negara matahari terbit itu sudah bertekuk lutut pada 15 Agustus
1945. Selama di Singapura itulah ia mendengar nama Soekarno dan Hatta
yang mana keduanya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Nama Indonesia
belum pernah di dengar oleh Andi Aziz sebelumnya. Sejak saat itulah
timbul rasa kerinduannya untuk kembali ke tanah air Sulawesi Selatan.
Kepada komandannya di Singapura ia mengajukan permohonan pengunduran
dirinya dari dinas militer Inggris. Tetapi keinginannya tersebut ditolak
oleh komandannya dan ia diharuskan untuk menghadap langsung kepada
petinggi petinggi angkatan perang Inggris di London mengenai pengunduran
dirinya. Di Singapura ia sempat dipertemukan dengan Panglima Belanda
oleh sahabat – sahabatnya tentara Belanda. Kerinduan akan kampung
halamannya membuat ia berdusta dan mengaku kepada Panglima Belanda di
Singapura bahwa ia telah keluar dari angkatan perang Inggris. Ia
mengajukan keinginannya untuk bergabung di militer Belanda, maklumlah
karena sistem kemiliteran pada waktu itu masih kurang ketat terlebih
karena keadaan perang maka Belanda tidak mengecek keabsahan pengakuannya
dan ia diterima kembali aktif di angkatan perang Belanda atau KNIL.
Tetapi setelah ia di terjunkan di Plaju, Sumatera Selatan ia melarikan
diri dan masuk kembali ke Singapura secara diam – diam untuk menumpang
kapal laut menuju ke Makassar. Pada tahun 1946 ia tiba di Makassar dan
menyamar sebagai terntara Inggris. Sebetulnya NICA sedang mencari – cari
keberadaan Andi Aziz yang desersi tersebut untuk diadilkan di
pengadilan militer. Tetapi kembali mengingat keadaan yang simpang siur
dan kacau maka NICA tidak berhasil membawa Andi Aziz untuk di adili.
Pada tahun yang sama ia diterima bekerja di kepolisian atas dasar
pendidikan militer dan pengalaman perang gerilyanya yang bagus.
Ketika Negara Indonesia Timur di bentuk ia di angkat sebagai adjudan
Presiden Sukawati dan pangkatnya di kembalikan menjadi Letnan Dua KNIL.
Pada tahun 1947 ia dikirim ke Bandung untuk menjadi instruktur
pendidikan militer disana dan kembali ke Makassar pada tahun 1948.
Sekembalinya di Makassar ia di angkat menjadi Komandan Divisi 7
Desember, anak buahnya adalah asli orang Belanda. Menjelang penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949 ia dipercayai untuk membentuk satu kompi
pasukan KNIL dan memilih langsung anak buahnya yang mana berasal dari
Toraja, Sunda dan Ambon. Kompi inilah yang kemudian di resmikan oleh
Panglima Teritorial Indonesia Timur, Letnan Kolonel Akhmad Junus
Mokoginta dan dilebur menjadi bagian dari APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat). Pada tanggal 5 April 1950 kompi ini jugalah
yang diandalkan Andi Aziz untuk melakukan pemberontakan.
Latar belakang timbulnya pemberontakan Andi Aziz adalah sebagai berikut :
Timbulnya pertentangan pendapat mengenai peleburan Negara bagian
Indonesia Timur (NIT) ke dalam negara RI. Ada pihak yang tetap
menginginkan NIT tetap dipertahankan dan tetap merupakan bagian dari
wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan di satu pihak lagi
menginginkan NIT melebur ke negara Republik Indonesia yang berkedudukan
di Yogyakarta.
Ada perasaan curiga di kalangan bekas anggota – anggota KNIL yang
disalurkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Setikat
(APRIS)/TNI. Anggota – anggota KNIL beranggapan bahwa pemerintah akan
menganaktirikannya, sedangkan pada pihak TNI sendiri ada semacam
kecanggungan untuk bekerja sama dengan bekas lawan mereka selama perang
kemerdekaan.
Kedua hal tersebut mendorong lahirnya pemberontakan bersenjata yang
dipimpin oleh bekas tentara KNIL, Andi Aziz, pada tanggal 5 April 1950.
Padahal sebelumnya, pemerintah telah mengangkat Andi Aziz menjadi Kapten
dalam suatu acara pelantikan penerimaan bekas anggota KNIL ke dalam
tubuh APRIS pada tanggal 30 Maret 1950. Namun, karena Kapten Andi Aziz
termakan hasutan Mr. Dr. Soumokil yang menginginkan tetap
dipertahankannya Negara Indonesia Timur (NIT), akhirnya ia mengerahkan
anak buahnya untuk menyerag Markas Panglima Territorium. Ia bersama anak
buahnya melucuti senjata TNI yang menjaga daerah tersebut. Di samping
itu, Kapten Andi Abdul Aziz berusaha menghalang – halangi pendaratan
pasukan TNI ke Makassar karena dianggapnya bahwa tanggung jawab Makassar
harus berada di tangan bekas tentara KNIL.
Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur
Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI.
Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Sebetulnya pemberontakan Kapten Andi Aziz adalah dikarenakan hasutan Dr.
Soumokil Menteri Kehakiman Indonesia Timur. Tokoh ini jugalah yang
memprakarsai adanya pemberontakan Republik Maluku Selatan. Kapten Andi
Aziz mempunyai pertimbangan lain. Ia khawatir akan tindakan membabi buta
dari Dr. Soumokil yang dapat mengakibatkan pertumpahan darah diantara
saudara sebangsa. Atas dasar pertimbangan untuk menghindari pertumpahan
darah tersebutlah ia bersedia memimpin pemberontakan. Ia merasa sanggup
memimpin anak buahnya tanpa harus merenggut korban jiwa. Ternyata memang
pemberontakan yang di pimpin olehnya berjalan sesuai dengan lancar dan
tanpa merenggut korban jiwa. Hanya dalam waktu kurang lebih 30 menit
semua perwira Tentara Nasional Indonesia dapat ia tahan dan Makassar
dikuasainya.
Dengan anggapan sudah merasa kuat pada tanggal 5 April 1950, setelah
menangkap dan menawan Letnan kolonel Mokoginta, Panglima Territorium
Sulawesi, Kapten Andi Aziz mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada
pemerintah pusat di Jakarta. Adapun isi pernyataan itu adalah sebagai
berikut :
Negara Indonesia Timur harus tetap dipertahankan agar tetap berdiri menjadi bagian dari RIS
Tanggung jawab keselamatan daerah NIT agar diserahkan kepada pasukan
KNIL yang telah masuk menjadi anggota APRIS. TNI yang bukan berasal dari
KNIL tidak perlu turut campur
Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta supaya tidak mengizinkan NIT dibubarkan dan bersatu dengan Republik Indonesia.
Tentu saja pernyataan Andi Aziz ini merupakan tamparan bagi pemerintah
RIS. Untuk mempertanggungjawabkannya, Perdana Menteri RIS memanggil
Kapten Andi Aziz agar menghadap ke Jakarta. Namun, panggilan pemerintah
pusat itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Kapten Andi Aziz itu
sehingga Perdana Menteri RIS mengeluarkan ultimatum yang menyatakan
bahwa dalam tempo 4 x 24 jam terhitung dari tanggal 8 April 1950, Kapten
Andi Aziz harus sudah tiba menghadap ke Jakarta. Apabila ultimatum itu
tidak diindahkan maka Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat akan menindak Kapten Andi Aziz. Selain itu,
pemerintah pusat telah pula mengeluarkan perintah kepada Kapten Andi
Aziz untuk :
Mengkoordinasikan pasukannya agar tidak liar
Melepaskan semua tawanan anggota TNI
Menyerahkan kembali persenjataan yang telah dirampasnya.
Mendengar ultimatum itu, Kapten Andi Aziz menyatakan kesediaannya untuk
datang menghadap pada tanggal 13 April 1950. Akan tetapi, kesanggupan
Kapten Andi Abdul Aziz ternyata tidak dipenuhi. Karena waktu itu Andi
Aziz menganggap keadaan atau situasi di kota Makassar masih belum stabil
karena masih ada pergerakan disana sini di dalam kota Makassar. Setelah
ia merasa Makassar telah aman maka semua tawanannya termasuk Letnan
Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dilepaskannya. Oleh karena pemerintah
telah memberikan kesempatan kepadanya dan kemurahan hati maka
ketidakhadiran Andi Aziz ini dianggap sebagai pemberontakan terhadap
pemerintah yang sah. Presiden memberikan amanat pada pidato radio yang
menyatakan bahwa sejak tanggal 5 April 1950 Kapten Andi Aziz dinyatakan
sebagai pemberontak dan daerah Makassar atau Indonesia Timur akan segera
dibebaskan dari cengkraman pemberontak tersebut.
Setelah adanya pernyataan Andi Aziz sebagai pemberontak oleh Presiden
maka Sri Sultan Hamengkubuwono selaku Menteri Pertahanan Keamanan RIS
mengeluarkan perintah harian, yang berbunyi sebagai berikut :
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat menerima baik perintah
Presiden RIS untuk menyelesaikan pemberontakan Andi Aziz di Makassar
Perintah tersebut akan segera dilaksankan.
Untuk menyelesaikan pemberontakan Andi Aziz maka dibentuklah sebuah
pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel Alex E Kawilarang sebagai
Panglima Operasinya. Untuk mendukung kelancaran operasi tersebut,
dikirimkan pasukan ke NIT dengan kekuatan tiga Brigade dan satu
Batalyon. Pasukan terdiri dari satu Brigade dari Divisi I Jawa Timur,
satu Brigade Divisi III Jawa Tengah, satu Brigade dari Divisi IV Jawa
Barat dan satu Batalyon dari Jawa Timur. Dari Jawa Tengah dikirim
Brigade 10/Mataram Divisi III Diponegoro dibawah pimpinan Letnan Kolonel
Soeharto. Kedua Batalyon yang dipersiapkan oleh Brigade 10/Mataram
adalah batalyon Kresno dipimpin Mayor Daryatmo dan Batalyon Seno
dipimpin Mayor Sujono. Dan pada tanggal 26 April 1950 pasukan expidisi
telah mendarat di Sulawesi Selatan.
Andi Aziz diundang kembali oleh Presiden Soekarno untuk datang menghadap
di Jakarta. Ia ditemani oleh pamannya yaitu Andi Patoppoi, lalu seorang
Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur yaitu Anak Agung Gde Adung
serta seorang wakil dari Komisi Tiga Negara. Ternyata undangan tersebut
hanyalah jebakan Presiden Soekarno, sesampainya ia di pelabuhan udara
kemayooran ia langsung ditangkap oleh Polisi Militer untuk dibawa ke
pangadilan. Ia kemudian di tahan dan di adili di pengadilan Wirogunan
Yogyakarta. Oleh pengadilan ia dijatuhi hukuman penjara 14 tahun, tetapi
hanya delapan tahun saja yang ia jalani.
Walaupun demikian, penyelesaian masalah pemberontakan Andi Aziz ini
belum dianggap selesai karena banyak anggota KNIL yang ditinggalkan oleh
Kapten Andi Aziz melakukan teror terhadap rakyat. Pemberontakan
berjalan terus yang dilancarkan oleh pasukan KNIL dan KL di Makasar.
Pasukan KNIL selalu memancing ‑ mancing keadaan agar pasukan APRIS
memulai serangan. Semula APRIS bersikap, tenang dan tidak termakan oleh
pancingan fihak KNIL, namun setelah KNIL menyerang pos ‑ pos APRIS maka
hilanglah kesabarannya dan membalas serangan tersebut sehingga
pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Pada tanggal 6 Agustus 1950,
APRIS melancarkan serangan urnum, sehingga pasukan KNIL terdesak,
kemudian pimpinan KNIL minta berunding untuk mengakhiri pertempuran.
Permintaan ita ditolak oleh Komandan ‑ Komando Militer kota Letkol
Suharto dengan mengajukan dua alternatif meninggalkan Makasar atau
dihancurkan sama sekali. KNIL yang sudah dalam keadaan sangat terdesak
akhirnya menerima tuntutan tersebut. Kemudian pada tanggal 8 Agustus
1950 diadakan perundingan antara Kolonel Kawilarang dengan Mayor Jendral
Schaffelaer. Hasil perundingan adalah bahwa Belanda bersedia
menyerahkan senjata dan meninggalkan Makasar tanpa senjata. Dengan
demikian tanggal 8 Agustus 1950 pemberontakan Andi Azis dapat
diselesaikan, kemudian disusul dengan penarikan seluruh pasukan KNIL/KL
dari Makasar tanpa senjata pada akhir bulan Agustus 1950.
Tahun 1958 Andi Aziz dibebaskan tetapi tidak pernah kembali ke Sulawesi
Selatan sampai masa orde baru. Sekitar tahun 1970-an ia kembali ke
Sulawesi Selatan sebanyak 4 kali dan terakhir pada tahun 1983. Setelah
keluar dari tahanan ia terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama
Soedarpo Sastrosatomo di perusahaan pelayaran Samudra Indonesia hingga
akhir hayatnya. Andi Abdoel Aziz meninggal pada 30 Januari 1984 di Rumah
Sakit Husada Jakarta akibat serangan jantung dengan umur 61 tahun. Ia
meninggalkan seorang Istri dan tidak ada anak kandung. Jenasahnya
diterbangkan dan dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng
Maliungan di desa Tuwung kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Turut hadir
sewaktu melayat di rumah duka yaitu mantan Presiden RI, BJ. Habibie
beserta Istri, Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan perwira
perwira TNI lainnya.
Sebelum meninggalnya, ia pernah beberapa kali ia diminta aktif kembali
ke dinas militer TNI oleh Presiden Soekarno dan diminta untuk membentuk
pasukan pengaman Presiden yaitu Cakrabirawa. Tetapi atas nasehat orang
tua dan juga saudara saudaranya maka ia menolak ajakan Presiden Soekarno
tersebut. Pihak keluarga merasa bahwa Andi Aziz adalah seoarang buta
politik yang sudah cukup merasakan akibatnya. Pihak keluarga tidak
menginginkan hal tersebut terjadi untuk kedua kalinya. Beryuskur karena
Andi Aziz menolak ajakan tersebut, ternyata pasukan Cakrabirawa ini
jugalah yang di kemudian harinya terlibat membantu pemberontakan Gerakan
30 September Partai Komunis Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar